Blora Catat Surplus Beras Hingga 300 Ribu Ton, Masalah Harga Disorot

Blora 21

Ilustrasi pekerja menuangkan karung beras. (Ant/Beritajateng.id)

BLORA, Beritajateng.id – Kabupaten Blora mencatat surplus beras lebih dari 300 ribu ton per tahun yang setara dengan lebih dari empat kali lipat kebutuhan warga yang hanya sekitar 73 ribu ton. Meski beras melimpah, hal tersebut justru menimbulkan masalah terhadap harga jual dari petani.

Kepala Dinas Pangan, Pertanian, Peternakan, dan Perikanan (DP4) Blora Ngaliman menegaskan surplus pangan bukan berarti semua petani mendapatkan kesejahteraan.

“Produksi kita memang berlebih. Tapi ketika petani berharap harga jual tinggi, pemerintah pusat khawatir memicu inflasi. Ini sering menjadi tarik-ulur,” ujarnya, Minggu, 28 September 2025.

Menurut Ngaliman, wilayah Blora memang diinstruksikan terus meningkatkan produksi. Namun masalah distribusi dan stabilitas harga belum terselesaikan hingga kini. Sehingga sebagian besar beras harus dikirim ke daerah lain.

“Petani ingin harga wajar, tapi jika harga naik terlalu tinggi dikhawatirkan berdampak ke inflasi nasional. Itu yang kerap jadi tantangan,” tambahnya.

Untuk menekan mata rantai distribusi, Ngaliman mendorong skema penjualan business to business (B2B) antar kelompok tani (Gapoktan) dengan kota-kota konsumen besar seperti Semarang yang selama ini hanya mampu memenuhi 10 persen kebutuhan berasnya.

“Kami sudah punya Gapoktan organik bersertifikat. Kerja sama langsung antardaerah bisa memberi harga lebih baik bagi petani dan menjaga pasokan kota pembeli tetap stabil,” jelasnya.

Ia menuturkan, Blora juga mengembangkan beras organik bernilai jual tinggi serta memanfaatkan teknologi seperti rumah kompos, greenhouse, dan metode pengendalian hama tikus alami lewat rumah burung hantu. Namun, Ngaliman menilai dukungan infrastruktur pascapanen masih minim.

“Kami butuh core storage atau gudang penyangga modern agar saat panen raya beras bisa disimpan dengan baik. Tanpa itu, petani sering terpaksa menjual murah,” katanya.

Disisi lain, Ngaliman menekankan bahwa kemandirian pangan harus disertai dengan kebijakan harga yang adil.

“Surplus ini potensi besar. Tantangannya menyeimbangkan kesejahteraan petani dengan stabilitas harga. Pemerintah daerah siap mendorong inovasi pemasaran, tapi dukungan pusat untuk gudang dan distribusi sangat penting,” tegasnya.

Jurnalis: *Red
Editor: Tia

Exit mobile version