Pemkot Salatiga Disebut Sembrono Soal Kebijakan Relokasi Pasar Pagi

Ketua Panitia Angket DPRD Salatiga Saiful Mashud memaparkan hasil penyelidikan terhadap kebijakan wali kota yang diduga melanggar ketentuan kepada awak media di Kantor DPRD, Senin, 7 Juli 2025. (Lingkar Network/Beritajateng.id)

SALATIGA, Beritajateng.id – Ketua Panitia Angket DPRD Kota Salatiga Saiful Mashud mengungkap sejumlah temuan penting usai melakukan serangkaian pemeriksaan terhadap berbagai pihak terkait kebijakan relokasi Pasar Pagi dan penghentian sementara Perda Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak dan Retribusi Daerah (PDRD).

Pihak-pihak yang telah dipanggil antara lain Dinas Perdagangan, Sekda, Asisten 1 dan Asisten 2, Bagian Hukum, Kepala Bappeda, paguyuban pedagang Pasar Pagi, pengemudi ojek, buruh gendong, serta Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH).

Dari hasil pemeriksaan, kata Saiful, ditemukan adanya kebijakan relokasi pedagang Pasar Pagi merupakan keputusan lisan yang langsung ditindaklanjuti oleh dinas terkait. Menurut Panitia Angket, keputusan itu tidak memiliki kajian mendalam, tidak melibatkan partisipasi masyarakat, dan belum memiliki dukungan anggaran.

“Kami menilai kebijakan ini sembrono karena menimbulkan keresahan di kalangan pedagang dan masyarakat. Pasar Pagi ini sangat vital dan strategis. Omzetnya mencapai lebih dari Rp 1 triliun per tahun dan menjadi sumber penghidupan bagi lebih dari 1.000 pedagang,” ungkap Saiful Mashud di Gedung DPRD Salatiga, Senin, 7 Juli 2025.

Ia menegaskan bahwa relokasi Pasar Pagi bisa berdampak besar karena pasar ini merupakan pemasok kebutuhan pangan utama di Salatiga. Apalagi, para pedagang sayur keliling mengancam tak akan berbelanja lagi jika Pasar Pagi direlokasi ke Pasar Rejosari.

Selain itu, Panitia Angket juga menemukan pelanggaran dalam penghentian sementara Perda Nomor 1 Tahun 2024 oleh Wali Kota Salatiga. Perda tersebut sebelumnya menjadi dasar pemungutan retribusi sampah rumah tangga yang dikelola melalui TPS3R.

“Kami menyoroti penghentian sepihak perda yang merupakan produk bersama eksekutif dan legislatif. Ini jelas tidak sesuai mekanisme. Ironisnya, perda itu justru merupakan inisiasi dari pihak eksekutif sendiri,” tegasnya.

Ia menjelaskan, penghentian perda tersebut membuat target penerimaan retribusi sebesar Rp 7,5 miliar sulit tercapai. Pasalnya, hingga kini baru terkumpul Rp 713 juta. Hal ini berpotensi menimbulkan kerugian daerah dan mengancam kondisi lingkungan di Salatiga.

“Kami akan meminta BPKP untuk menghitung kerugian daerah akibat penghentian perda ini. Jika tidak segera ditangani, Salatiga bisa menghadapi krisis dan darurat sampah, apalagi umur teknis TPA Ngronggo hanya tersisa dua tahun lagi,” katanya.

Pemkot Salatiga Diduga Langgar Prosedur Pengambilan Kebijakan 

Sementara itu, anggota Panitia Angket, Dance Ishak Palit menyebut bahwa kebijakan relokasi dan penghentian perda merupakan inisiatif langsung dari wali kota. 

“Sudah jelas, dari hasil pemeriksaan, kebijakan relokasi berasal dari wali kota. Untuk penghentian perda, kami sedang menyelidiki apakah proses itu sesuai aturan atau justru melanggar ketentuan yang berlaku,” terang Dance.

Ia menambahkan, Panitia Angket akan melakukan pendalaman hasil penyelidikan pada pertengahan Juli 2025. Diskusi dengan para tenaga ahli pun sedang berlangsung untuk menguji aspek hukum dan administratif dari kebijakan tersebut.

“Panitia Angket tidak tidur. Kami terus bekerja. Batas waktu kami sampai 2 September 2025, dan kami akan pastikan apakah kebijakan-kebijakan ini terbukti melanggar aturan atau tidak,” pungkasnya. 

Jurnalis: Lingkar Network
Editor: Utia Lil

Exit mobile version