JAKARTA, Beritajateng.id – Kunjungan luar negeri Presiden Prabowo Subianto selama bulan Juli ini menandakan upaya konsolidasi poros baru dunia. Keseimbangan dominasi negara-negara maju di tingkat global secara perlahan dimainkan dengan kartu as “politik luar negeri bebas aktif” Indonesia.
Tampaknya gempuran Trump Tariff mendorong negara-negara dunia untuk memperkuat ekonomi dalam negerinya dan cenderung protektif. Sementara itu, perang yang tidak kunjung usai di kawasan Eropa, Timur Tengah, dan sebagian Asia, mengilhami negara-negara untuk meningkatkan kapasitas anggaran pertahanan, persenjataan dan teknologi tinggi peperangan sebagai antisipasi munculnya gelombang peperangan baru.
Situasi ini ditangkap dengan baik oleh Presiden Prabowo Subianto dengan kunjungan luar negeri pada Juli 2025. Kali ini bernuansa religius, penguatan ekonomi, dan pertahanan negara. Negara-negara yang tujuan perjalanan tak sekedar membuka pasar baru, tetapi mengakselerasi poros Global South untuk menciptakan keseimbangan baru di tingkat global.
Awal lawatannya di Arab Saudi, Presiden Prabowo, selain menjalankan ibadah umrah, penjajakan kerja sama baru Jakarta-Riyadh telah melampaui batasan kerja sama tradisional. Indonesia menjadi penjembatan ASEAN untuk peningkatan dan diversifikasi kerja sama bilateral, khususnya melalui inisiatif bersama di bidang perdagangan, energi, infrastruktur, dan investasi strategis. Dikabarkan, Indonesia dan Arab Saudi menandatangani kesepakatan senilai sekitar 27 miliar dolar AS, dengan fokus pada energi bersih, petrokimia, dan sumber daya mineral.
Sesama negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, hubungan Indonesia-Arab Saudi telah terjalin selama berabad-abad lamanya. Kedua negara sama-sama merasakan tekanan dari Trump Tariff dan khawatir dengan keamanan di kawasan Timur Tengah. Karenanya, penguatan kerja sama ini bermakna dukungan mendalam bagi kedua negara.
Politik luar negeri bebas aktif benar-benar dimainkan oleh Presiden Prabowo, saat melanjutkan perjalanannya ke KTT BRICS+ di Brazil. Momentum ini menandai pergeseran dinamika kekuatan global menuju keseimbangan baru. Negara-negara ekonomi berkembang bertumbuh menjadi blok multipolar yang lebih kuat, menantang dominasi tatanan lama oleh Barat.
Bergabungnya Indonesia sebagai anggota ke-11 BRICS+ menambah potensi ekonomi blok ini, hingga sekitar 30 persen PDB global, 20 persen perdagangan barang dunia, dan hampir separuh populasi dunia. Kekuatan ini membuat AS semakin ketar-ketir.
Bersama BRICS, Indonesia mengkritik tarif unilateral dan langkah-langkah non-tarif yang mengganggu siklus perdagangan global. BRICS+ menyerukan reformasi lembaga-lembaga, seperti IMF dan World Bank.
AS merespons pernyataan ini secara konfrontatif. Di akun Truth Social-nya, Presiden AS Donald Trump menyatakan bahwa, “Negara mana pun yang mendukung kebijakan anti-Amerika BRICS akan dikenakan Tarif TAMBAHAN 10 persen “, dan tidak akan ada pengecualian. Trump mengirim surat kepada Presiden Indonesia Prabowo Subianto yang mengancam akan mengenakan tarif sebesar 32 persen terhadap seluruh ekspor Indonesia terhitung tanggal 1 Agustus 2025. Trump menyatakan tarif dapat dipertimbangkan kembali jika Indonesia setuju untuk membangun operasi manufaktur di AS.
Tekanan kepada Indonesia ini dijawab oleh Presiden Prabowo dengan meneruskan kunjungannya ke Uni Eropa. Pada 13 Juli 2025 Indonesia mengambil langkah signifikan untuk memperkuat hubungan ekonomi dalam perundingan Indonesia- European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA).
Perjalanan menuju kesepakatan ini tidak pendek. Sejak minyak sawit dan nikel Indonesia di bawah bayang-bayang isu lingkungan pada 2016, para negosiator telah membahas detail CEPA, membahas secara detail permasalahan perdagangan minyak sawit dan kebijakan ekspor nikel Indonesia.
IEU CEPA berhasil menemukan kesepahaman perdagangan pada sektor pertanian, otomotif, dan jasa. Indonesia-Uni Eropa memiliki waktu hingga September 2025 untuk membahas kesepakatan detailnya, termasuk pengurangan tarif ekspor kelapa sawit. Uni Eropa sendiri mengakui bahwa di tengah tekanan tarif dan proteksionisme yang menguat, potensi kerja sama untuk wilayah ASEAN, dengan Indonesia sebagai pasar terbesarnya, memberikan optimisme di masa depan.
Terakhir, Presiden Prabowo menuju Prancis, menerima undangan Presiden Prancis Emmanuel Macron sebagai tamu kehormatan pada parade militer memperingati Hari Nasional Prancis (Bastille Day) 2025 pada Senin, 14 Juli.
Setelah itu dilanjutkan dengan perjamuan makan siang untuk membicarakan kemitraan strategis antara kedua negara dalam bidang pertahanan, ekonomi, investasi, dan perdagangan. Kehadiran 450 prajurit TNI dalam Parade Bastille Day menunjukkan penekanan pada bidang pertahanan. Mengingat sebelumnya, pada Mei di Jakarta, Presiden Prabowo mengungkapkan niatnya untuk memperoleh lebih banyak jet tempur Rafale, kapal selam Scorpène, sistem artileri Caesar, dan fregat ringan.
Akselerasi Global South
Dalam setiap kali kunjungannya, Indonesia selalu membangun keseimbangan dengan memformulasi negara-negara yang hendak dikunjungi, seperti yang dilakukan oleh Presiden Prabowo Subianto, kali ini, beberapa negara dituju dalam satu perjalanan kunjungan sekaligus. Ini bukan hanya sebagai strategi politik, tetapi juga perwujudan dari politik bebas aktif.
Prinsip “bebas” dimaknai sebagai bebas dari intervensi pihak luar dalam memutuskan kebijakan luar negeri. Sementara prinsip “aktif” dimaksudkan bahwa Indonesia tidak hanya memperjuangkan kepentingannya sendiri, tapi berkontribusi pada penciptaan tatanan internasional yang damai, adil, dan sejahtera. Menjaga keseimbangan antarkekuatan.
Strategi dagang AS yang memainkan tarif dan Uni Eropa yang meregulasi ketat persyaratan dagang, bukan berarti tidak bisa dinegosiasi. Namun, sebelum bernegosiasi, Indonesia menunjukkan kemampuannya dalam meningkatkan daya tawarnya, sekaligus keberpihakannya kepada negara berkembang, dengan bergabung dalam BRICS+.
Pasca-kolonialisme, negara-negara yang mengklaim dirinya pemenang akan selalu menancapkan dominasinya. Mereka bersaing dengan negara-negara yang baru mengalami kemajuan. Pemerintah Indonesia diharapkan mampu mengelola tantangan tersebut, termasuk dalam membangun peluang kerja sama.
Setelah berhasil menjadi Anggota BRICS, Indonesia dapat memperkuat daya tawarnya di panggung diplomasi internasional. Lebih leluasa mengaktualisasikan perannya sebagai pemimpin negara-negara berkembang (Global South), dengan terus menjaga hubungan baik dengan negara-negara lainnya.
Setiap perubahan besar, baik itu pergantian kekuasaan, konflik, perang atau perdamaian, pasti ada kekuatan dasar (instrument of power), yaitu diplomasi, informasi, militer dan ekonomi (DIME). Itulah yang dimainkan oleh negara-negara maju selama ini. Namun, Indonesia, sebagai negara terbesar di kawasan Asia Tenggara, harus mengambil langkah dan mampu menyeimbangkannya dengan instrument of power yang sama. Begitulah seharusnya politik “bebas dan aktif” dijalankan.
Pada akhirnya, dengan menyatukan kekuatan semua komponen bangsa, segala potensi kerja sama luar negeri diupayakan untuk mendukung pembangunan nasional guna mencapai Indonesia Emas 2045.
Penulis: Dr. Ngasiman Djoyonegoro, MHan adalah analis intelijen, pertahanan, dan keamanan.