BLORA, Beritajateng.id – Naiknya harga singkong membuat perajin ceriping singkong dan keripik gadung di dukuh Kampung Baru, Kelurahan/Kecamatan Randublatung, Blora, mengeluh.
Sulitnya mendapatkan bahan baku singkong membuat perajin ceriping singkong dan kripik gadung terpaksa membeli bahan baku dengan harga sangat mahal.
Untuk satu karung singkong mentah, bisa dihargai Rp 70-100 ribu. “Kami harus tetap membeli, karena tidak ada pilihan lain,” ujar, Paijah, salah seorang perajin pada Selasa, 9 Juli 2024.
Datangnya musim kemarau kali ini juga menjadi penyebab tingginya harga tanaman ubi kayu ini.
Kalaupun tersedia harganya jauh lebih tinggi, sehingga mereka mengaku harus memangkas hingga kehilangan keuntungan.
Untuk mensiasati, kadang para pembuat ceriping singkong ini mencari bahan baku lain selain singkong yakni pisang. Alternatif ini dilakukan agar usaha yang sudah dirintis puluhan tahun ini bisa terus berjalan.
“Kalau pisang ya langsung goreng, tidak dijadikan gadung dulu,” jelasnya.
Namun, lagi-lagi bahan baku menjadi kendala yang sering dialami oleh perajin. “Sekarang ya sedapatnya, ya singkong ya pisang. Biar dapur bisa tetap ngebul,” tandasnya.
Salah seorang perajin ceriping lainya, Parni mengungkapkan, untuk kenaikan harga per karung singkong bisa mencapai Rp 20-30 ribu rupiah.
“Biasanya kami beli bahan baku Rp 65 ribu per sak, sekarang menjadi Rp 85 ribu rupiah, bahkan lebih. Itupun barangnya susah,” ungkapnya.
Oleh karena itu, biaya produksi semakin tinggi. Sehingga saat ini, lanjut Parni, dirinya juga terpaksa membatasi jumlah produksi ceriping dagangannya.
“Ini skala rumahan, jadi masih kecil, Mas. Jika biasanya sehari bisa 1 sak, sekarang cuma berani separuhnya, karena bahan baku susah,” jelasnya.
Purwati (56) juga mengatakan hal serupa. Kini dirinya terpaksa menaikkan harga jual dagangannya.
Jika biasanya dia menjual dengan harga jual Rp 3.500 per plastik dengan berat 200 gram, kini naik menjadi Rp 5 ribu.
“Kalau gak ikut naik, bisa gulung tikar nanti. Pelanggan kebetulan mengerti dan tidak komplain,” ucap Purwati.
Dirinya mengaku hanya bisa mendapatkan keuntungan bersih Rp 2 ribu per plastik. “Kalau ditotal sehari cuma dapat Rp 50 ribu, kalau biasanya bisa dapat Rp 75 ribuan sekali produksi,” ujar Purwati.
Dampak dari kenaikan bahan baku ini adalah menurunnya keuntungan. Oleh karena itu, mereka harus lebih berhemat dari biasanya.
“Rata-rata yang produksi makanan ringan ini seorang janda kalau disini, Mas. Jadi kita harus bisa menghemat belanja kebutuhan sehari-hari,” pungkas Purwati. (Lingkar Network | Hanafi – Beritajateng.id)