REMBANG, Beritajateng.id – Siswa SMP Negeri 1 Pancur, Kabupaten Rembang, mengembangkan inovasi pewarna batik alami dari daun ketapang (Terminalia catappa). Inovasi ramah lingkungan ini merupakan hasil dari kegiatan Karya Ilmiah Remaja (KIR) dan telah teruji secara laboratoris oleh UPT Labkesda Dinas Kesehatan Kabupaten Rembang.
Sebagai Sekolah Adiwiyata Nasional, Kepala SMPN 1 Pancur, Basori, S.Pd. mengatakan para siswa didorong untuk aktif menciptakan solusi berbasis lingkungan yang aplikatif. Pewarna alami ini menjadi salah satu bukti konkret penerapan nilai-nilai Adiwiyata dalam proses belajar.
Ia mengungkap bahan baku diperoleh dari daun ketapang kering yang berjatuhan di lingkungan sekolah, tanpa mengambil daun segar dari pohon. Di halaman sekolah terdapat banyak pohon ketapang, sehingga pengumpulan bahan tidak merusak tanaman. Pendekatan ini mencerminkan prinsip zero waste dan pemanfaatan potensi lokal.
Tim siswa juga melakukan uji coba terhadap tiga jenis daun ketapang, yakni daun kering (gugur alami), daun setengah segar, dan daun hijau segar. Ketiganya menghasilkan warna yang berbeda saat digunakan sebagai pewarna batik.
Daun kering memberikan warna coklat tua, daun setengah segar menghasilkan warna coklat, dan daun hijau segar menghasilkan warna coklat muda. Variasi ini membuka peluang pengembangan warna alami yang lebih luas ke depannya.
Proses pembuatan pewarna meliputi pencucian daun, perebusan, dan penyaringan hingga menghasilkan cairan pewarna. Cairan tersebut telah digunakan dalam praktik membatik oleh siswa di sekolah.
Untuk memastikan keamanan penggunaannya, sampel pewarna diuji pada 3 Juni 2025 dan dianalisis pada 4 Juni 2025. Berdasarkan hasil uji dengan nomor 0048/AL/KIM/2025, cairan pewarna dinyatakan memenuhi standar baku mutu berdasarkan PMK LHK Nomor 5 Tahun 2014 dan PMK RI Nomor 2 Tahun 2023.
Parameter hasil uji coba menunjukkan bahwa warna menunjukkan 7,6 mg/L, kekeruhan 2,8 NTU, TDS 338 mg/L, dan suhu 29,8°C. Bau dan rasa juga terdeteksi ringan, namun masih dalam batas wajar untuk produk non-pangan. Dengan hasil tersebut, pewarna batik dari daun ketapang dinyatakan tidak mengandung zat berbahaya, aman untuk kulit, dan tidak mencemari lingkungan.
Basori menyampaikan bahwa inovasi ini mencerminkan semangat siswa dalam menerapkan ilmu pengetahuan secara nyata.
“Sebagai Sekolah Adiwiyata Nasional, kami terus mendorong siswa untuk tidak hanya belajar dari buku, tetapi juga dari lingkungan. Inovasi ini adalah contoh hasil pembelajaran yang kontekstual dan bermanfaat,” ujarnya.
Inovasi ini telah dipresentasikan dalam lomba karya ilmiah tingkat kabupaten dan mendapat apresiasi karena dinilai sederhana, murah, dan relevan dengan isu lingkungan. Produk ini juga dinilai potensial untuk dikembangkan lebih lanjut.
Menurut Putri Winuryanti, pembimbing KIR, eksperimen dengan berbagai jenis daun ketapang membuka peluang eksplorasi lebih lanjut termasuk pencampuran daun dengan pelarut alami lain dan uji ketahanan warna terhadap pencucian serta sinar matahari.
Selain pengembangan pewarna alami, tim KIR SMPN 1 Pancur kini juga tengah memfokuskan penelitian pada pemanfaatan limbah kantin menjadi produk bermanfaat.
“Salah satu produk yang dikembangkan adalah sabun batang ramah lingkungan. Uniknya, sabun tersebut dibuat dari campuran ecoenzym yang difermentasi dari limbah organik, seperti sisa buah dan sayuran, dan minyak jelantah bekas pakai,” ujarnya.
Bahan-bahan tersebut diolah melalui proses sederhana namun higienis. Ecoenzim berfungsi sebagai agen pembersih alami, sedangkan minyak jelantah diubah menjadi bahan dasar sabun melalui proses saponifikasi.
Produk akhir berupa sabun padat ini telah diuji coba untuk mencuci tangan dan peralatan dan dinilai aman serta efektif. Selain mengurangi pencemaran air akibat pembuangan jelantah, sabun ini juga menjadi alternatif produk kebersihan yang ramah lingkungan dan hemat biaya.
Jurnalis: Vicky Rio
Editor: Utia Lil