PATI, Beritajateng.id – Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah wilayah Kendeng-Muria, Dwi Suryono, menegaskan bahwa penataan lahan pertanian yang dilakukan oleh petani tidak diperkenankan untuk mengangkut material tanah keluar dari wilayah pertanian.
Statement tersebut disampaikan setelah puluhan petani yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Peduli Pertanian (GMPP) melakukan aksi protes pada Rabu, 24 September 2024. Aksi tersebut merupakan reaksi petani terhadap lima unit alat berat yang disita polisi akibat mengangkut tanah persawahan ke tempat lain.
Menurut Dwi, tindakan petani mengeruk tanah pertanian dengan alasan penataan lahan menyalahi Undang-undang nomor 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral. Meskipun menggunakan alasan penataan lahan, namun material tanah yang dijual disebut menyalahi aturan.
Dwi menjelaskan bahwa keadaan akan berbeda jika penataan lahan dilakukan dengan tidak memindahkan material tanah ke tempat lain.
“Soal regulasi penataan lahan izin yang ditetapkan UU nomor 3 tahun 2020 pasal 35 ayat 3. Kalau memang sifatnya penataan material tidak dikeluarkan itu tidak apa-apa, tidak boleh keluar,” kata Dwi didepan puluhan petani dan para anggota DPRD Pati.
Dwi membeberkan apabila kehendak petani diizinkan, maka pihaknya harus melakukan koordinasi dengan instansi terkait seperti Dinas Pertanian.
“Bisa juga dijual (diangkut keluar), tetapi harus izin melalui dinas terkait yaitu Dispertan,” tegasnya.
Sutirno, perwakilan dari para petani yang merasa dirugikan, menuntut agar para petani diizinkan untuk menata lahan pertanian dengan memindahkan material tanah ke tempat lain. Menurutnya, di musim kemarau ini para petani harus menata lahan agar sawah dapat digenangi air ketika musim hujan tiba.
Aktivitas tersebut menurut Sutirno adalah cara modern untuk menata lahan. Sebab area persawahan khususnya di Pati Selatan merupakan sawah tadah hujan. Sehingga tanah sawah harus dikurangi agar dapat menampung lebih banyak air hujan.
“Karena apa problematika petani yaitu lahan tinggi sedangkan irigasinya rendah sehingga air tidak bisa langsung ke lahan pertanian. Untuk solusinya adalah pengeprasan (pengerukan) itu menggunakan alat berat supaya lebih cepat dan tepat,” kata Suterto.
Selain menuntut perizinan penataan lahan, Sutirno mempertanyakan penyitaan lima alat berat oleh Polresta Pati sebagai Aparat Penegak Hukum (APH). Menurutnya, penyitaan alat berat tersebut tidak etis karena yang dilakukan para petani tidak termasuk dalam penambangan.
Pihaknya berharap dengan melakukan aksi demo, APH tidak lagi mengusik aktivitas penataan lahan yang dilakukan oleh para petani.
“Tuntutannya kami bisa bekerja kembali untuk menata lahan itu dan memakai alat berat kembali dan bisa menggeser armada berupa dump,” tandasnya. (Lingkar Network | Arif Febriyanto – Beritajateng.id)