BLORA, Beritajateng.id – Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto menegaskan bahwa program Makan Bergizi Gratis (MBG) harus dijalankan dengan pendekatan yang berpihak kepada masyarakat dan selaras dengan kearifan lokal.
“Pendekatan program MBG sebaiknya tidak top-down. Justru harus melibatkan masyarakat lokal, terutama petani dan peternak, dalam menyediakan pasokan bahan baku bagi SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi),” ujar Edy Wuryanto dalam Focus Group Discussion lintas sektor untuk membahas MBG di Blora Senin, 27 Oktober 2025.
Edy mengatakan keberhasilan program nasional tersebut, tidak hanya ditentukan oleh penyediaan makanan bergizi bagi anak-anak sekolah. Namun juga oleh seberapa besar masyarakat dilibatkan dalam seluruh rantai penyediaannya.
“Masyarakat harus terlibat langsung dalam program MBG,” ujarnya.
Menurutnya dalam MBG ada semangat gotong royong, kepedulian, dan berbagi kepada sesama. Karena itu, pihaknya mendorong agar promosi hingga edukasi program MBG mengangkat tradisi dan kearifan lokal di setiap daerah.
“Program ini akan lebih diterima masyarakat jika dikaitkan dengan budaya yang mereka kenal,” ungkapnya.
Dalam tradisi masyarakat Samin, kata dia, setiap tamu yang datang selalu dijamu dengan makanan terbaik. Hal ini bukan sekadar bentuk keramahan, melainkan simbol penghormatan dan persaudaraan.
“Semangat memberi makan kepada orang lain sudah menjadi bagian dari budaya kita jauh sebelum ada program pemerintah. Tentu bukan hanya formalitas, tapi memberikan menu terbaik,” kata Edy.
“Seperti inilah yang perlu diangkat dalam promosi MBG agar masyarakat merasa bahwa program ini lahir dari akar budayanya sendiri,” sambungnya.
Menurut Edy, Kabupaten Blora memiliki potensi besar untuk menjadi contoh nasional pelaksanaan MBG yang melibatkan masyarakat secara aktif. Sebab wilayah ini memiliki banyak komunitas petani hingga peternak.
“Termasuk para pengikut komunitas masyarakat Sedulur Sikep yang mengelola berbagai komoditas seperti padi, sapi, lele, melon, dan sayuran,” ujarnya.
Edy menilai keterlibatan mereka dalam penyediaan bahan baku untuk dapur-dapur SPPG tidak hanya akan memperkuat ketahanan pangan lokal, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi di pedesaan.
“Dari kuota 73 dapur SPPG di Blora, potensi perputaran uangnya bisa mencapai sekitar Rp525 miliar per tahun. Jika seluruh kebutuhan bahan bakunya dipasok dari petani dan peternak lokal, maka manfaat ekonomi program ini akan langsung dirasakan masyarakat,” tuturnya.
Namun, Edy mengingatkan pentingnya peran pemerintah daerah dalam memastikan rantai pasok berjalan baik. Dia menekankan perlunya pemetaan terhadap potensi pertanian dan peternakan agar produksi daerah mampu memenuhi permintaan program tanpa menimbulkan gejolak harga.
“Kalau kebutuhan MBG meningkat tanpa perencanaan matang, bisa memicu inflasi daerah. Tapi kalau dikelola dengan baik, justru akan menciptakan pemerataan ekonomi dan kesejahteraan bagi masyarakat Blora,” katanya.
Ia berharap Blora dapat menjadi percontohan nasional dalam pelaksanaan MBG berbasis kearifan lokal. Dia yakin keberhasilan di Blora dapat menjadi inspirasi bagi daerah lain untuk mengembangkan model serupa yang sesuai dengan budaya dan potensi masing-masing.
“Blora bisa menjadi ikon bagaimana program nasional dapat tumbuh dari akar budaya lokal. Dengan menggabungkan semangat budaya dan ekonomi rakyat, MBG akan menjadi gerakan yang menyehatkan generasi sekaligus mensejahterakan masyarakat,” tutur Edy.
Jurnalis: *Red
Editor: Tia


















