KUDUS, Beritajateng.id – Debat calon Bupati dan Wakil Bupati Pilkada Kudus 2024 yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Kudus di Hotel Gripta pada Kamis malam, 24 Oktober 2024 mengangkat isu korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sebagai sorotan utama.
Kedua pasangan calon (paslon) saling beradu argumen terkait upaya pencegahan KKN yang kerap menghambat kemajuan daerah. Paslon nomor urut 01, Sam’ani Intakoris-Bellinda Putri, menegaskan komitmennya dalam memerangi praktik KKN.
Sam’ani menekankan pentingnya keteladanan dari seorang pemimpin. Apabila terpilih, ia berjanji tidak akan memperjualbelikan jabatan.
“Tidak boleh ada jual beli jabatan. Jual beli jabatan nanti hanya ada di pasar,” ujar Sam’ani yang disambut riuh pendukungnya.
Ia menambahkan akan bekerja sama dengan Inspektorat, Kepolisian, dan Kejaksaan untuk mencegah terjadinya korupsi di Kabupaten Kudus. Sedangkan, Bellinda Putri, calon Wakil Bupati Kudus nomor urut 01, menekankan pentingnya sinergi antara “good people” dan “good system” untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik.
“Dengan sistem yang baik dan orang yang berintegritas, pemerintahan akan bebas dari KKN,” tegasnya.
Sementara itu, paslon nomor urut 02, Hartopo-Mawahib turut mengkritisi persoalan KKN. Hartopo menawarkan pentingnya integritas sebagai kunci utama dalam pencegahan korupsi.
Ia menyinggung potensi konflik kepentingan yang bisa muncul apabila seorang calon bupati menjalin kerja sama dengan pihak ketiga, khususnya dalam pembiayaan pencalonan.
“Ini rawan. Bagi saya, itu berarti sudah ada pengkondisian,” ujarnya.
Mawahib menambahkan bahwa salah satu cara untuk mencegah korupsi adalah dengan menghindari konflik kepentingan.
“Saya adalah orang yang bebas dari konflik kepentingan, sehingga lebih mudah menjaga integritas,” pungkas Mawahib.
Debat tersebut semakin memanas ketika kedua paslon mengungkapkan data berbeda mengenai jumlah pondok pesantren (ponpes) di Kabupaten Kudus.
Paslon nomor urut 1, Samani Intakoris-Bellinda Putri, menyebutkan bahwa Kudus memiliki 101 pondok pesantren yang sudah tercatat. Sam’ani menekankan pentingnya ponpes dalam mendidik santri yang berkualitas. Ia juga mengajukan program beasiswa bagi santri yang ingin melanjutkan pendidikan formal.
“Kami akan memberdayakan lulusan ponpes yang unggul agar dapat terus dikembangkan,” ujar Sam’ani.
Namun, pernyataan Samani langsung dikoreksi oleh cawabup nomor urut 2, Mawahib yang mendampingi cabup Hartopo. Mawahib mengklaim bahwa jumlah pesantren di Kudus lebih besar yakni mencapai 201 ponpes, dengan tambahan 403 TPQ dan 308 madrasah diniyah.
“Data yang tidak valid bisa menciptakan persepsi yang keliru. Jangan hanya jadikan pondok pesantren sebagai komoditas politik,” kritik Mawahib.
Setelah debat, Samani kembali menegaskan data yang dipegangnya merupakan data resmi dari Kementerian Agama (Kemenag) yang telah diverifikasi.
“Jumlah ponpes yang terverifikasi memang 101. Yang belum terverifikasi mungkin lebih banyak,” jelas Samani.
Menyikapi hal tersebut, Kepala Kemenag Kabupaten Kudus, Suhadi, menjelaskan bahwa perbedaan data tersebut memang wajar. Ia menerangkan bahwa Kemenag memiliki kriteria dan pengelompokan tersendiri untuk pondok pesantren.
“Memang ada perbedaan jika menyebut jumlah keseluruhan dan jumlah ponpes yang terverifikasi,” ujarnya.
Diketahui, data dari Kemenag Kudus menyebutkan bahwa Kudus memiliki sekitar 200-an ponpes dengan sekitar 170 diantaranya sudah terverifikasi. (Lingkar Network | Mohammad Fahtur Rohman – Beritajateng.id)