BLORA, Beritajateng.id – Muhidin M Dahlan, seorang penulis serta aktivis yang menjadi salah satu pemateri dalam festival se-abad Pram menanggapi penolakan penamaan Jalan Pramoedya Ananta Toer di jalan Baru, Blora.
Sebelumnya, diberitakan bahwa organisasi masyarakat Pemuda Pancasila (PP) menolak peresmian penyematan nama Pramoedya Ananta Toer sebagai nama jalan. Hal itu lantaran Pram dinilai sebagai radikal kiri merujuk pada karyanya berjudul “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu”.
“Bahwa masalah plang nama Jalan Pramoedya Ananta Toer yang tidak bisa berdiri karena gagal diresmikan, menemu jawab di buku tersebut. Real jawaban di situ, akarnya di mana ada di buku itu. Pram manusia yang kontradiktif. Manusia yang ekstrem. Manusia yang berjalan di jalannya sendiri,” kata Muhidin.
Selain itu, ia mengaku tidak percaya perihal asumsi umum yang menyatakan bahwa Pram berkaitan dengan proklamasi yang dibangun tentara. Ia menegaskan ketidakpercayaannya sekalipun narasi itu ada dalam pelajaran sejarah.
“Kenapa? karena dalam riset dia (Pram) tidak ada tentara sampai tanggal 5 Oktober. Sementara kemerdekaan berlangsung 17 Agustus. Dua setengah bulan nggak ada tentara,” terang dia.
Ia menilai ucapan Pram itu memang berbahaya karena dapat merusak tatanan narasi sejarah umum. Sehingga menurutnya, Pram memang sosok unik yang banyak dicintai orang, namun juga sebaliknya.
“Kan itu yang terjadi dengan plang, andaikan plang nama jalan itu adalah Pramoedya Ananta Toer, begitulah orangnya,” kata dia.
Kendati demikian, sambung dia, Pram tak pernah membenci tentara. Justru Pram adalah seorang militer yang dipecat lantaran dituduh korupsi.
“Soeharto pun pernah dituduh korupsi. Kemungkinan seratus tahun berikutnya akan sama. Dia dipuji setinggi langit. Di sisi lain dibenci sedalam emas Papua,” ucap aktivis tersebut. (Lingkar Network | Eko Wicaksono – Beritajateng.id)